Pada dekade awal pemerintahan Orde Baru berkuasa, Dimjati muda kala itu termasuk salah satu warga yang ikut program transmigrasi. Bersama 25 kepala keluarga transmigran dari Kediri, Dimjati diutus sebagai pendamping mereka ke Gorontalo. Dia juga mendampingi transmigran dari Banyuwangi, Pacitan, dan Malang, masing-masing 25 keluarga.
”Saya memiliki pengalaman panjang di dunia kepanduan (pramuka). Sejak sekolah dasar hingga lulus pendidikan guru agama pada tahun 1972, saya aktif di pramuka. Hal itu menjadi dasar pemerintah saat itu menunjuk saya sebagai pendamping transmigran,” ujar Dimjati.
Bersama ratusan keluarga transmigran, untuk pertama kali Dimjati menginjakkan kaki ke Gorontalo, yang ketika itu masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara. Daerah yang dituju Dimjati adalah Desa Harapan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo. Namun, saat itu belum ada Kabupaten Boalemo dan wilayah tersebut masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Boalemo terbentuk seiring dengan usia Provinsi Gorontalo, yaitu pada tahun 2001.
Dimjati melihat sebagian besar tanah di wilayah transmigran sangat miskin pepohonan. Bahkan, sebagian besar tanah gersang. Karena berpikir tidak mungkin kembali lagi ke Jawa, dia merasa harus segera berbuat sesuatu agar bisa hidup dengan nyaman di daerah transmigrasi. Satu-satunya yang terlintas di benaknya saat itu adalah menanam pohon buah-buahan.
”Memang selama setahun, pemerintah menjamin segala kebutuhan hidup warga transmigran. Jadi, saya berpikir, saya harus melakukan sesuatu. Yang saya lakukan saat itu hanya sederhana, menanam pohon buah,” kata Dimjati.
Sejak akhir 1977, Dimjati mulai giat menanam pohon, terutama jenis buah-buahan, seperti jambu, mangga, durian, pisang, dan duku. Ke mana pun ia pergi dan melihat ada bibit pohon buah, ia tak segan membeli, bahkan meminta kepada pemiliknya untuk ditanam di Desa Harapan, kampung barunya.
Selain menanam pohon buah, Dimjati gencar menanam rumput gajah di tepian jalan dan anak sungai di Desa Harapan. Dalam sekejap, sebagian wilayah Desa Harapan dipenuhi rumput gajah. Selain bermanfaat sebagai pakan ternak sapi dan kambing milik transmigran, rumput gajah juga memperkuat sempadan sungai dari erosi.
Pencetakan sawah
Aktivitas menanam Dimjati ternyata membuat dirinya populer di kalangan transmigran. Bahkan, sebagian transmigran mulai mengikuti jejaknya untuk turut giat menanam. Karena banyak dikenal dan juga pengaruhnya sebagai pendamping transmigran, Dimjati lantas ditunjuk sebagai Kepala Desa Harapan pada periode 1980-1982.
Jabatannya sebagai kepala desa semakin strategis untuk menggalakkan penanaman pohon. Maka, dalam segala kegiatan apa pun, Dimjati tak lupa mewajibkan warga untuk membawa bibit tanaman apa saja untuk ditanam. ”Saat menjabat sebagai kepala desa, saya merintis pembuatan saluran air yang berdampak pada pencetakan sawah baru seluas 250 hektar,” ujar Dimjati.
Ia pun tak lupa dengan aktivitasnya saat masih di Jawa, yaitu kegiatan kepanduan atau kepramukaan. Di Boalemo, jabatan kepanduan ia raih sampai pada tingkat Wakil Ketua Cabang Pramuka Kabupaten Boalemo. Kegiatan di pramuka turut membantu misi Dimjati menghijaukan lingkungan sekitar. Sebab, semua kegiatan pramuka di Boalemo harus dibarengi dengan kegiatan penanaman pohon.
”Selain penanaman pohon dalam setiap kegiatan pramuka, saya juga mencetak selebaran berisi manfaat berbagai tanaman untuk obat. Itu saya tulis dan cetak sendiri untuk dibagikan secara gratis kepada siapa saja yang terlibat dalam acara pramuka, tak terkecuali masyarakat umum,” tutur Dimjati.
Rupanya, prestasi Dimjati di dunia tanam-menanam pohon serta pengaruhnya kepada masyarakat transmigran membuat ia dilirik pengurus partai penguasa saat itu. Dengan proses yang tak perlu berbelit, Dimjati akhirnya dipilih sebagai anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Gorontalo sejak tahun 1982 hingga 1992 atau untuk dua kali masa jabatan. Wilayah transmigran rupanya menjadi pendulang suara dalam setiap pemilihan umum bagi parpol penguasa tersebut.
Meskipun sudah beralih sebagai wakil rakyat, kecintaan Dimjati kepada pohon tidak pernah luntur. Setiap kegiatan partai atau yang ada kaitannya dengan tugas sebagai wakil rakyat, dia tak lupa mewajibkan peserta acara untuk membawa bibit pohon untuk ditanam. Tak heran, di mana ada Dimjati, pasti ada bibit pohon.
Puncak pengakuan terhadap apa yang dilakukan Dimjati terhadap lingkungan sekitar adalah penghargaan Kalpataru yang diterima tahun 1990. Penghargaan untuk kategori penyelamat lingkungan itu ia terima langsung dari Presiden Soeharto di Istana Negara. Menyusul kemudian adalah penghargaan Satya Lencana Pembangunan yang ia terima tahun 2003 dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kini, setelah pensiun dari segudang kegiatan, Dimjati masih aktif menanam pohon di sekitar tempat tinggalnya. Selain berwiraswasta membuka toko kelontong, Dimjati juga mengurus sawah dan kebun miliknya. Ia juga memiliki arboretum seluas lima hektar yang berisi aneka pepohonan. Hamparan hijau di Desa Harapan saat ini menjadi bukti dan saksi atas apa yang dilakukan Dimjati terhadap lingkungan sekitar.
”Tidak ada kata berhenti menanam pohon bagi saya. Sampai kapan pun, di mana pun, saya akan terus menanam dan mengajak masyarakat ikut serta menanam pohon,” ucapnya.
Bagi Dimjati, menanam pohon ibarat melestarikan kehidupan. Jika tak bisa dinikmati oleh si penanam, pohon tersebut akan berguna bagi anak cucu generasi penerus. Udara yang bersih, ketersediaan sumber air, atau buah-buahan yang melimpah adalah salah satu manfaat menanam pohon.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan, janganlah menggunakan kata-kata kotor, maka komentar tersebut akan di kenakan spam