Saat ini hampir semua perusahaan rokok melakukan aksi CSR (corporate social responsibility) melalui kegiatan beasiswa, olahraga atau pun pendidikan. Tapi praktisi CSR mengungkapkan tidak ada CSR dari industri rokok dan itu hanya untuk mencari muka dan pencitraan saja.
"Industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial atau berkinerja tanggung jawab sosial yang tinggi," ujar Jalal selaku aktivis lingkar studi CSR dalam acara diskusi publik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Intervensi Industri Rokok di Hotel Acacia, Jakarta, Selasa (22/5/2012).
Diketahui ada 3 indikasi mengapa praktisi CSR menolak industri rokok melakukan CSR yaitu:
1. Tidak satu pun indeks socially responsible investment yang menyertakan perusahaan rokok dalam portfolio investasinya.
Rokok digabungkan bersama dengan industri senjata, nuklir, judi dan minuman beralkohol ke dalam kategori harmfull industries.
2. Penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR.
3. Berbagai survei mutakhir menunjukkan seluruh pemangku kepentingan sepakat bahwa indistri rokok paling rendah kinerja CSR-nya.
Beberapa kegiatan yang diklaim industri rokok sebagai CSR adalah pendidikan dan beasiswa, lingkungan hidup, budaya dan bantuan sosial.
"Orang tahunya CSR itu nyumbang duit atau donasi belaka, sebagian lagi mengartikan kegiatan pengembangan masyarakat atau community development, karenanya perusahaan rokok bebas melakukan aktivitas sosial yang dibungkus istilah CSR," ungkapnya.
Jalal menuturkan hakikat CSR sebenarnya adalah tanggung jawab perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Untuk itu tidak ada CSR dari industri rokok.
"CSR butuh transparansi jadi harus bicara dengan jujur dampak positif dan negatifnya. Untuk itu jangan menunggangi istilah CSR, kalau tujuannya cari muka atau pencitraan itu bukan CSR, tapi CSR washing yaitu yang jelek ditutup-tutupi kalau yang bagus dibesar-besarkan," ujar Jalal.
Sementara Lisda Sundari dari Komnas Perlindungan Anak menuturkan CSR industri rokok tidak ada bedanya dengan marketing dan promosi, yang mana menggunakan pejabat, tokoh atau public figure serta menggunakan yayasan yang sama dengan nama perusahaannya.
"Semua pihak harus waspada dan kritis terhadap kegiatan CSR rokok, karena tujuannya meningkatkan konsumsi rokok dan bertentangan dengan kebijakan kesehatan masyarakat yaitu mengurangi konsumsi tembakau," ujar Lisda.
"Industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial atau berkinerja tanggung jawab sosial yang tinggi," ujar Jalal selaku aktivis lingkar studi CSR dalam acara diskusi publik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Intervensi Industri Rokok di Hotel Acacia, Jakarta, Selasa (22/5/2012).
Diketahui ada 3 indikasi mengapa praktisi CSR menolak industri rokok melakukan CSR yaitu:
1. Tidak satu pun indeks socially responsible investment yang menyertakan perusahaan rokok dalam portfolio investasinya.
Rokok digabungkan bersama dengan industri senjata, nuklir, judi dan minuman beralkohol ke dalam kategori harmfull industries.
2. Penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR.
3. Berbagai survei mutakhir menunjukkan seluruh pemangku kepentingan sepakat bahwa indistri rokok paling rendah kinerja CSR-nya.
Beberapa kegiatan yang diklaim industri rokok sebagai CSR adalah pendidikan dan beasiswa, lingkungan hidup, budaya dan bantuan sosial.
"Orang tahunya CSR itu nyumbang duit atau donasi belaka, sebagian lagi mengartikan kegiatan pengembangan masyarakat atau community development, karenanya perusahaan rokok bebas melakukan aktivitas sosial yang dibungkus istilah CSR," ungkapnya.
Jalal menuturkan hakikat CSR sebenarnya adalah tanggung jawab perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Untuk itu tidak ada CSR dari industri rokok.
"CSR butuh transparansi jadi harus bicara dengan jujur dampak positif dan negatifnya. Untuk itu jangan menunggangi istilah CSR, kalau tujuannya cari muka atau pencitraan itu bukan CSR, tapi CSR washing yaitu yang jelek ditutup-tutupi kalau yang bagus dibesar-besarkan," ujar Jalal.
Sementara Lisda Sundari dari Komnas Perlindungan Anak menuturkan CSR industri rokok tidak ada bedanya dengan marketing dan promosi, yang mana menggunakan pejabat, tokoh atau public figure serta menggunakan yayasan yang sama dengan nama perusahaannya.
"Semua pihak harus waspada dan kritis terhadap kegiatan CSR rokok, karena tujuannya meningkatkan konsumsi rokok dan bertentangan dengan kebijakan kesehatan masyarakat yaitu mengurangi konsumsi tembakau," ujar Lisda.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan, janganlah menggunakan kata-kata kotor, maka komentar tersebut akan di kenakan spam