Situasi itulah yang dihadapi para pedagang asongan. Jumlah mereka ribuan. Banyak di antara mereka memiliki KTP Jakarta sebagai tanda mereka memiliki hak sebagai warga kota dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Namun, lajunya roda pembangunan kota terus memburu, bahkan melindas mereka. Sampai-sampai, Ronny Susanto (26), Ketua Paguyuban Pedagang Asongan Jabodetabek (PPAJ) menilai tak ada tempat yang benar-benar aman dan nyaman bagi mereka untuk mencari penghidupan.
Dijumpai saat acara Deklarasi PPAJ di GOR Balai Rakyat Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (19/5/2012), Ronny menilai seharusnya penertiban dilakukan tanpa menutup ruang mereka untuk mencari nafkah.
"Saat hujan kami kehujanan. Saat panas kami kepanasan. Siapa yang kagak pingin kerjaan yang lebih baik dari pedagang asongan?" tanya Ronny.
Pemuda asal Garut ini menilai situasi tersebut sangat tidak adil. Penertiban seharusnya tidak hanya asal pembersihan. Penertiban perlu juga tetap membuka ruang bagi mereka untuk mencari nafkah.
Karena itu, ia berharap pemerintah sudah menyiapkan alternatif usaha lain bagi mereka. "Aparat seharusnya bisa memfasilitasi kami ke kerjaan yang lain atau ke tempat dagang yang lain," ujar Ronny.
Yang terjadi saat ini, penertiban seolah-olah menjadi tindakan akhir pemerintah tanpa memperhitungkan hak hidup mereka sebagai warga. Tak ada alternatif pekerjaan lain, tak ada lokasi usaha baru, tak ada pelatihan, apalagi pemberian modal usaha.
Tak heran bila petugas Tramtib menghadirkan efek traumatis bagi mereka. Pasalnya, penertiban bisa sekaligus menghabisi satu-satu sumber rezeki mereka. Berbekal pendidikan ala kadarnya, antara SD - SMU, dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp 50.000 bahkan kurang dari itu, dalam pandangan Ronny, wajar bila mereka pun mengidam-idamkan pekerjaan lain.
Akan tetapi dengan status perantau yang memiliki pendidikan dan ketrampilan terbatas, pekerjaan lain sulit digapai. "Siapa yang kagak ngarep dapat pelatihan? Tapi, gimana caranya. Tak pernah ada dialog antara kami dengan aparat. Gimana mereka bisa mendengar aspirasi kami?" keluh Ronny.
Ia memaklumi sikap aparat yang dianggapnya hanya sebagai pelaksana peraturan. Ia juga menyadari kesulitan pihak pemerintah untuk mendengarkan aspirasi mereka. Pasalnya, meskipun berjumlah ribuan, tidak ada wadah yang menyatukan mereka, tidak ada perwakilan yang bisa diandalkan untuk berdialog dengan pemerintah.
Atas dasar itulah, bersama sejumlah rekannya, pria tamatan SMK ini pun merintis berdirinya PPAJ. Dengan adanya paguyuban ini, Ronny yakin bisa memperkokoh kesatuan mereka, terutama saat menghadapi ketidakadilan kebijakan pemerintah terhadap status pekerjaan mereka informal.
"Selain itu, kalau memang pemerintah pingin dengar aspirasi kami, sudah ada PPAJ yang jadi perwakilan," kata pria yang sudah tujuh tahun berdagang asongan di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
PPAJ diyakininya akan memberikan rekan-rekan seprofesinya posisi tawar yang lebih kuat saat menghadapi penertiban. Dengan demikian, kebijakan pemerintah tidak hanya menjadikan mereka sebagai korban, tapi disertai solusi lain yang berpihak kepada mereka.
"Karena kami mencari makan bukan gebukan," pungkas Ronny.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan, janganlah menggunakan kata-kata kotor, maka komentar tersebut akan di kenakan spam